Para Petinggi Oi Pertiwi

PARA PETINGGI Oi PERTIWI

Angga Taufik ( Perintis ) Melanjutkan Pendidikan Di Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Cudey Pancasona ( Angkatan I ) Melanjutkan Pendidikan Di STIE STEMBI Bandung / Bandung Bussines School
Achmad Sidik Permana ( Angkatan II ) Melanjutkan Pendidikan Di Universitas Pendidikan Tasikmalaya
Aris Nurrahman ( Angkatan III ) Melanjutkan Pendidikan Di Politehnik Kesehatan Tasikmalaya
Galih Guntara ( Angkatan IV ) Melanjutkan Pendidikan Di Universitas Pendidikan Bandung
Muhammad Eki Ramdani ( Angkatan V ) Melanjutkan Pendidikan Di Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Imam Pirmanda ( Angkatan VI ) Melanjutkan Pendidikan Di STIKES MUHAMADIAH Tasikmalaya
Dzwiky Khermawan ( Angkatan VII ) Melanjutkan Pendidikan Di Sekolah Kemiliteran Palembang
Bima Sakti Bintang Perkasa ( Angkatan VIII ) Melanjutkan Pendidikan Di Universitas Pendidikan Indonesia Tasikmalaya Jurusan Matematika
Lucky Herdiansyah (Angkatan IX)

Senin, 25 Januari 2010

ISTILAH SUNDA TERCANTUM DIBUKU PTOLEMAEUS TAHUN 150 Masehi


Istilah Sunda sebagai nama tempat, pertama kali disebut oleh ahli ilmu bumi dari Yunani, Ptolemaeus dalam bukunya tahun 150 Masehi, kata Prof Dr drs Edi Suhardi Ekadjati, dalam pidato pengukuhan dirinya selaku Guru Besar Ilmu Sej arah di Universitas Padjadjaran,
Mengutip buku Atmamihardja (1958: 8), Edi menjelaskan, Ptolemaeus
menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di
sebelah timur India
Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India, kata Edi yang kini Kepala Museum Konferensi Asia Afika dan dosen di Unpad serta
Unpar Bandung.
Dari penelurusan kepustakaan, katanya, kata Sunda seperti dikatakan
Rouffaer (1905: 16), merupakan pinjaman kata dari kebudayaan Hindu seperti
juga kata-kata Sumatera, Madura, Bali, Sumbawa yang semuanya menunjukkan
nama tempat.
Kata Sunda sendiri, menurut Edi, kemungkinan berasal dari

akar kata "sund"
atau kata "suddha" dalam bahasa Sanskerta yang mengandung makna: bersinar,
terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa 1949: 289). Dalam bahasa Jawa
kuna (Kawi) dan bahasa Bal i pun terdapat kata "Sunda" dengan pengertian:
bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada
(Mardiwarsito, 1990: 569-57, Anandakusuma, 1986: 185-186; Winter, 1928:
219).
Ahli geologi Belanda RW van Bemmelen, mengatakan, Sunda adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut India
Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul, ujar Edi.
Dataran Sunda dikelilingi sistem Gunung Sun da yang melingkar
(circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km.
Edi mengemukakan, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu
bagian utara, meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang
Lautan Pasifik bagian barat, serta bagian selatan yang terbentang dari
barat sampai ke timur mulai Lembah Brahm aputera di Assam (India) hingga
Maluku bagian selatan.
Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di
barat dan dataran Sahul di timur, kata Edi, mengedepankan pendapat van
Bemmelen (1949: 2-3).
Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda
diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda
Besar dan Kepulauan Sunda Kecil.
Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari
Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan
gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen,
1949:15-16).
Mengutip Gonda (1973:345-346), Edi mengatakan, pada mulanya kata "suddha"
dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang
tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena
tertutup abu asal gunung tersebut.
Gunung Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu.
Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah gunung itu berada dan
penduduknya.
Menurut Edi, mungkin sekali, pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian
barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di India
yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar (ENI, IV,
1921:14-15).
Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang
beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan
Sunda itu telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada
tahun 1579 Masehi, katanya, men gutip Danasasmita dkk, III, 1984:1-27 dan
Djajadiningrat, 1913:75.
Setelah keruntuhan Kerajaan Sunda, eksistensi dan peranan Sunda tidak lagi
menonjol di daerahnya sendiri, apalagi di wilayah Nusantara, baik dalam
hubungan geografis, sosial, politik maupun kebudayaan. Keadaan seperti
itu berlangsung sekitar tiga aba d hingga awal abad ke-20 Masehi, karena
pengaruh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan dan kebudayaan Islam, Jawa,
Eropa (terutama Belanda).
Di antara pengaruh-pengaruh luar itu yang paling melekat dan meresap ke
dalam masyarakat Sunda adalah Islam, baru kemudian Jawa dan selanjutnya
Eropa, kata Edi.


Paguyuban Pasundan

Identitas Sunda muncul lagi awal abad ke-20 dengan lahirnya Paguyuban
Pasundan (1914), yaitu suatu perkumpulan yang berorientasi pada sosial
budaya Sunda, setelah melewati proses kebangkitan bahasa dan sastra Sunda
sejak pertengahan abad ke-19.
Usul tersebut disetujui pemerintah kolonial sehingga ketetapan pembentukan
provinsi tersebut antara lain berbunyi, " Jawa Barat, dalam bahasa orang
pribumi (bahasa Sunda) menunjuk sebagai Pasundan". Dalam perjalanan
sejarah, Paguyuban Pasundan antara lain sejak 1918 berintegrasi dengan
aktivitas kaum pergerakan nasional yang menuntut kemerdekaan, bebas dari
penjajah.
Prof Edi Suhardi Ekadjati dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, 25 Maret
1945. Ia, suami Hj Utin Nur Husna dan kini dikaruniai empat anak. Edi
adalah Sarjana Sastra Unpad (1971), kemudian melanjutkan studi di Program
Filologi untuk Sejarah, Rikjsuniver siteit, Leiden (1975), lalu meraih
Doktor di Universitas Indonesia (1979).


By: Galih Guntara

Kebudayaan


Kebudayaan, cultuur dalam bahasa Belanda dan culture dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin “colore” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Dari pengertian budaya dalam segi demikian berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Untuk membedakan pengertian istilah budaya dan kebudayaan, Djoko Widaghdo (1994), memberikan pembedaan pengertian budaya dan kebudayaan, dengan mengartikan budaya sebagai daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.

Menurut Djojodiguno (1958) dalam bukunya : Asas-asas Sosiologi, memberikan definisi mengenai cipta, karsa, dan rasa sebagai berikut:

Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.

Karsa adalah kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sangkkan paran”. Dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan kemana manusia sesudah mati (paran). Hasilnya berupa norma-norma keagamaan/kepercayaan.

Rasa adalah kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongann untuk menikmati keindahan. Hasil dari perkembangan rasa terjelma dalam bentuk dalam berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan macam-macam kesenian.



Menurut Koentjaraningrat (1974), menyatakan bahwa kebudayaan terdiri atas tiga wujud:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.



Wujud pertama adalah wujud yang ideel dari kebudayaan. Sifatnya abstrak tak dapat, tak dapat diraba. Lokasinya ada dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kebudayaan ideel ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, menganai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lain menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu berupa seluruh total dari hasil fisik dan aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat.



Di atas telah dijelaskan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi:

a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia.

b. Kebudayaan non material (bersifat rohaniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya religi (walau tidak semua religi ciptaan manusia).

2. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.



Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut dengan pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan telah memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup makhluk lain. Sedangkan pada sisi yang lain, akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia yang sampai kapanpun tidak pernah akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus bergerak berusaha menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat rohani maupun jasmani.



Pengertian kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya. Pernyataannya dapat dalam bentuk bahasa (lisan, tulisan, isyarat), benda (tools and equipment), sikap dan kebiasaan (adat/ habit and attitude), dan lainnya. Komponen-komponennya (unsur-unsur kebudayaan) diantaranya politik, ekonomi, sosial, teknologi, transportasi, komunikasi, dan religi. Komponen ini merupakan bagian dari sistem kebudayaan yang tak terpisahkan, dan bingkainnya (boundary cultural system) adalah supranatural. Bagaimana manusia mengkreasi semua ini (how to create), akan berbeda antara kelompok yang satu dengan lainnya, sebagai contoh: Masyarakat Nelayan Pantai Utara Jawa berbeda dengan Pantai Selatan Jawa dalam menciptakan perahu. Perahu masyarakat Pantai Utara dibangun dengan papan yang disambung-sambung dan tanpa cadik (penyeimbang), sementara masyarakat nelayan Pantai Selatan Jawa membuat perahu dari kayu gelondongan dengan memakai cadik. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhannya sama yaitu tentang suatu alat (tools) untuk berlayar dalam rangka menangkap ikan (baik masyarakat Pantai Utara maupun Selatan) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (needs), tetapi karena tantangan alam yang berbeda maka penciptaan teknologipun berbeda, demikian pula dalam aspek kehidupan lainnya.


Budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, budaya dalam suatu organisasi adalah menjadi pengikat semua karyawan secara bersama dalam organisasi tersebut dan sekaligus sebagai pemberi arti dan maksud dalam keterlibatan karyawan tersebut dalam pekerjaan sehari-hari dari organisasi. Dalam kaitan ini, Shein (1985-1990) – pakar dalam “Applied Strategic Planning” – telah mengemukakan definisi yang lebih komprehensif tentang budaya, yaitu : “Budaya adalah suatu pola dari asumsi-asumsi dasar (keyakinan dan harapan) yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dari organisasi, dan kemudian menjadi acuan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan adaptasi keluar dan integrasi internal, dan karena dalam kurun waktu tertentu telah berjalan/berfungsi dengan baik, maka dipandang sah, karenanya dibakukan bahwa setiap anggota organisasi harus menerimanya sebagai cara yang tepat dalam pendekatan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi